Langsung ke konten utama

Cerpen



LAPIS STRAWBERRY
Jenuh. Seperti biasa setelah makan siang, menunggu adzan ashar, aku selalu bingung akan melakukan hal apa—karena buku bacaanku telah selesai dibaca. Semua tugas-tugasku yang diberikan Mamak pun telah selesai. Seperti menyapu, mencuci piring kotor, dan mengangkat jemuran baju kering dibelakang rumah. Biasanya Mamak di hari libur seperti ini—tepatnya menuju sore hari selalu menyempatkan memasak camilan kecil untuk dimakan bersama. Yaitu Lapis Strawberry. Jangankan membayangkan rasanya seperti apa, mendengar namanya saja Lapis Strawberry bikinan Mamak pasti sangat lezat. Perutku jadi bereaksi keroncongan kembali.
“Sarah, coba cuci strawberry diatas meja dapur lalu potong kecil-kecil”
Mamak selalu berteriak jika ia sibuk, suaranya terdengar jelas walaupun dari dapur dan aku sedang berada di depan televisi—tentunya agak jauh dari dapur. Karena dapur terletak paling belakang.
“Iya, Mak” sambil berlarian kecil  menuju dapur agar cepat sampai dan Mamak tidak kembali meneriakkiku untuk kedua kalinya.
“Taruh sini, Sarah. Sehabis itu setelah camilan ini selesai matang, kau antarkan kerumah Pak Mahdar ya? Langsung pulang. Sepertinya ini akan turun hujan. Mamak tak mau kau kehujanan lalu sakit” jelas Mamak, tanpa sedikitpun menoleh kearahku yang telah selesai mencuci strawberry dan memotongnya kecil-kecil. Mamak masih sibuk membuat sirup gula untuk bahan pembuatan lapis strawberry.
“Siap Mak. Panggil Sarah kalau sudah siap ya? Sarah mau nonton TV dulu” aku meninggalkan Mamak sendirian didapur. Kali ini aku tidak membantu Mamak sampai selesai membuat camilan itu, karena dulu aku pernah membantu malah membuat kue lapis-nya terlalu lembek dan terlalu manis. Sejak saat itu, Mamak hanya memintaku mencuci strawberry dan memotongnya kecil-kecil.
Di desa tumbuh subur buah strawberry, hampir seluruh hamparan perkebunan di perbukitan desa ini ditumbuhi buah strawberry. Merah-merah, besar dan semuanya rasanya manis. Tak ada yang masam. Sehingga setiap kali panen, hasil buah strawberry dari desaku paling unggul se-kota provinsi. Seluruh penduduk di desaku bermata pencaharian sebagai petani strawberry. Hampir setiap penduduk yang bertani memiliki ladang perkebunan strawberry yang ditanami sendiri strawberry nya.
“Sarah. Cepat kesini. Ini sudah matang. Siap kau antarkan ke rumah Pak Mahdar” belum lengkap kartun berdurasi 30 menit ini selesai, Mamak telah memanggilu kembali untuk mengntarkan lapis strawberry ke rumah Pak Mahdar.
“Baik, Mak” aku mencomot kue lapis strawberry diatas meja dapur “Fuhh, panas Mak” aku mengkipas-kipas mulutku dengan tanganku. Refleks karena kue yang aku makan masih panas.
“Baru matang, Sarah. Tentu saja masih panas” Mamak menyerahkan bungkusan plastik yang didalamnya terdapat kue lapis yang dibungkus daun pisang. Bukan panas, tetapi kali ini yang aku pegang hangat. Kue ini benar harum wanginya, enak.
Lapis strawberry bukan makanan khas di desaku, ini adalah varian sendiri buatan Mamak karena Mamak bingung saat sehabis panen strawberry. Bingung mau dimasak apa, bosan itu-itu saja. Dodol, jus, kripik. Sungguh bosan. Sedangkan Pak Mahdar, ia adalah teman dekat Mamak dari sewaktu kecil. Sudah Mamak anggap saudara, jadi ketika Mamak masak lebih, atau kelebihan panen strawberry, dan masak camilan seperti ini, Mamak tak lupa berbagi untuk Pak Mahdar. Rumah Pak Mahdar tak terlalu jauh dari rumah kami, hanya ratusan meter saja. Cukup dengan jalan kaki. Pak Mahdar juga punya anak seusiaku, Beno namanya. Dia anak yang pendiam dan tertutup, bahkan setelah sekian kalinya aku bolak-balik kesana, Beno jarang sekali menatapku, jangankan bercakap-cakap. Senyum saja Beno tak pernah.
“Sarah berangkat, Mak” aku mencium tangan Mamak. Balik kanan, memakai sandal lalu berjalan menuju rumah Pak Mahdar.
Benar, langit sedang mendung. Pasti akan turun hujan. Aku lupa tidak membawa payung. Mamak juga lupa tidak mengingatkannya, aku harus bergegas  supaya tidak kehujanan.

            Aku mengetuk pintu, uluk salam. Sepi, tidak ada respon. Aku mengulangi kedua kalinya, masih lengang. Tidak ada suara. Aku coba melangkah ke pintu belakang, ternyata Pak Mahdar dan Beno masih sibuk membenahi sangkar burung yang rusak. Aku mendekati mereka, sepertinya mereka benar-benar sibuk dan tidak melihatku yang hampir persis berada didepan mereka.
“Pak Mahdar” sapaku singkat. Pak Mahdar Menoleh
“Eh Sarah, mencari Beno ya?” Pak Mahdar meletakan sangkar burung, menoleh ke arahku lalu kearah Beno.
“Eh tidak Pak, ini ada titipan dari Mamak. Kue lapis strawberry. Kemarin kami habis panen strawberry, lalu Mamak membuat ini. silahkan” aku mengulurkan bungkusan kecil, tersenyum.
“Wah makasih banyak, Sarah. Mamak kau selalu berbaik hati. Dari dulu” Pak Mahdar menerima bungkusan itu. lalu tertawa renyah. Sedangkan Beno hanya diam, tanpa melirikku. Pun tidak sibuk dengan sangkar burung yang rusak.
“Sarah pamit, Pak. Keburu hujan. Terimakasih” aku bersalaman kepada Pak Mahdar, mengulum senyum kepada Pak Mahdar dan Beno. Lagi Beno tidak menatapku.
“seharusnya Bapak yang berterimaksih Sarah, hati-hati dijalan ya” Pak Mahdar berdiri, mengantarkanku hinga ke teras depan
“Baik, Pak” aku berjalan pulang. Meninggalkan Pak Mahdar yang masih mengulum senyum kepadaku, sedangkan Beno masih ditempat semula.

            Sehabis shalat maghrib, kami sekeluarga makan malam. Aku, Bapak, Mamak dan Kak Abdul. Tiba-tiba aku teringat tentang hal tadi. Benar, teringat Beno.
“Mak, kenapa Beno anaknya pendiam sekali? Setiap Sarah kerumahnya, Beno jarang menatap Sarah. Bahkan hampir tidak pernah. Disekolahan pun juga. Sarah juga jarang sekali melihat Beno berwajah senang ketika mendapatkan lapis strawberry dari Mamak. Memakannya pun tidak” suapan terakhir, aku selesai makan malam kali ini.
“Kenapa Sarah bertanya seperti itu?” Mamak tidak memandangku, masih sibuk dengan makan malamnya.
“Karena Sarah ingin tahu Mak, Beno juga sepertinya tidak memiliki teman. Karena itu Sarah ingin menjadi teman Beno, Mak. membuat Beno tersenyum. Bermain bersama. Sepertinya teman-teman melihat wajah Beno yang pendiam , aneh, dan murung mereka jadi malas berteman dengan Beno, Mak.” aku menjelaskan panjang lebar kepada Mamak. Dan Mamak pun selesai dengan makan malamnya.
“Kalau begitu, di libur panjang sekolah ini kau datang kerumahnya terus saja Sarah. Ajak dia bicara. Perlahan, kalau belum berhasil, coba kau bujuk berulang dengan lapis buatan Mamak. Tak ada yang mampu menolaknya. Mamak tahu walaupun Beno tak mau mencicipinya sedikipun, sebenarnya ia tergoda. Berusahalah Sarah. Jangan menyerah. Mamak ingatkan kembali,  dia seperti itu karena dia merasa kehilangan sekali saat ibunya meninggal. Kau ingat kan kejadian itu? saat Beno menangis kencang sekali, masih tidak percaya ibu nya telah meninggal” jelas Mamak sambil merapikan piring kotor. Bapak dan Kak Abdul hanya diam dan memperhatikan. Lengang.
“Baiklah, Mak. Sarah coba”  makan malam itu berakhir bersama kalimat terakhirku yang aku ucapkan kepada Mamak. Semuanya telah beres-beres lalu berkutik dengan kesibukannya masing-masing
***
“Beno, jangan diam saja . ajak Sarah masuk kedalam rumah” teriak Pak Mahdar dari dalam rumah. Melihat dari jendela. Beno hanya balik kanan, aku mengikutinya.
“Beno, ayo main ular tangga” aku mengeluarkan permainan ular tangga dari dalam tas kecilku. Aku teringat sekali pesan Mamak, ajak dia berbicara Sarah.
Beno masih acuh, diam. Pak Mahdar hanya memper hatikan. Pak Mahdar mungkin paham maksud aku selama ini, ini adalah kesekian kalinya aku datang kerumah Beno. Sudah ke 5 kalinya. Mengajak Beno bicara, bermain. Tetapi hasilnya nol. Beno tetap acuh.
“Ya sudah. Kalau tidak mau. Makan ini ya Beno, lapis strawberry nya. Aku tak pernah melihat kau makan secuil lapis strawberry, ini enak sekali Beno” Benar aku tidak pernah melihat Beno makan lapis buatan Mamak, padahal sangat enak.  Aku mengulurkannya tepat ke tangan Beno.
“Eh” beno berkata, entah itu berkata atau aku hanya salah dengar.
“Eh kenapa Beno?” aku mengulangnya. Menatap Beno lamat-lamat.
“Kenapa kau baik padaku? Padahal aku sudah kesekian kalinya mengacuhkanmu, Sarah” sungguh. Baru pertama kali aku mendengar Beno berkata sepanjang ini. Bahkan sejelas ini.
“Karena aku tahu tentang kamu, aku tak mau melihat kau bersedih. Kita sudah saling mengenal lama, bertetangga. Walaupun kamu tak pernah sepatah katapun berbicara kepadaku, aku memahaminya Beno. Aku paham. Aku ingin kau seperi anak lainnya. Tersenyum, bermain. Jangan larut dalam kesedihan terus Beno. Tidak ada gunanya” aku berkata panjang lebar kepada Beno. Menatap lamat-lamat. Beno akhirnya mendongak kearahku. Sungguh kejaiban. Pak Mahdar memperhatikan dari kursi dekat televisi. Tersenyum. Memahami.
“Te..terima..” belum Beno  mengucap selesai itu, aku langsung menatapnya. Kembali mengulurkan lapis strawberry ke tangan Beno.
“Tak apa Beno. Ini coba makan, aku bukan bermaksud berbelas kasihan dan meremehkan seperti katamu dulu saat aku ketiga kalinya kesini Beno. Bukan itu, aku hanya ingin kita berteman baik. Seperti Bapak kau dan Mamakku. Beteman lama hingg saat ini” Beno menerima uluran kue lapis dari tanganku, perlahan. Sampai akhirnya berada di genggamannya.
“Mafkan aku Sarah, maaf kemarin aku sempat marah-marah. Sempat menolak kesekian kalinya makan lapis buatan Mamak kau, aku juga sebenarnya ingin makan. Tapi aku malu denganmu. Maaf sarah” jelas Beno panjang lebar, menatapku lamat-lamat. Untuk pertama kalinya. Pak Mahdar mendengar percakapanku dengan Beno hanya mengangguk takzim, paham akan semua ini pasti terjadi. Usahaku tak berbuah sia-sia.
“Aku maafkan Beno, kita berteman? Oh ya, makan dong. Itu enak sekali” aku mengedipkan mata kearah beno. Menangkap baik maksudku, Beno langsung menggigit sedikit lapis itu. mengunyah perlahan. Lalu ditelan.
“Enak. Bahkan sungguh lezat Sarah. Maaf kemarin-kemarin aku menolaknya. Kali ini aku akan menjadi yang pertama saat mencicipi lapis ini. Bahkan aku jadi pensaran cara membuat lapis ini. Aku akan kerumahmu ikut Mamak kau akan membuat lapis ini. Tentu saja kita berteman, Sarah.” Beno menelan lapis dan lalu berkata dengan pancaran mata sangat gembira. Sungguh ini sangat menyenangkan.
“Tentu saja Beno. Silahkan” aku tersenyum riang. Mengingat usahaku hingga saat ini berbuah manis. Mengingat dulu Beno anak yang pendiam saat aku pertama kali kesini hingga kesekian kalinya dan akhirnya Beno mau berbicara dan bahkan tersenyum kepadaku.
“Bolehkah pak tua ini ikut makan lapis lezat sedunia ini?” Pak Mahdar tiba-tiba duduk di samping aku dan Beno. Mencomot kue lapis diatas piring, lalu memakannya dengan senyum mnengembang.
“Tentu saja boleh, Pak” ucapku. Kami bertiga tersenyum, tertawa. Kue lapis terakhir dimakan oleh Beno. Sungguh terlihat merah merona wajah Beno, seperti warna merah lapis strawberry ini.
Cahaya langit sore masuk dari celah jendela, membasuh lantai papan tempat duduk aku, Beno dan Pak Mahdar. Tawa kami bertiga memenuhi langit-langit rumah Pak Mahdar. Selesai makan lapis lezat ini kami lanjut bermain ular tangga. Bahkan Pak Mahdar pun ikut. Benar kata Mamak, tak ada yang mampu menolak lezat nya lapis buatan Mamak. Tentu pasti akan tetap  tergoda walaupun sekian kalinya menolak untuk Makan. Lapis manis dan lezat ini selalu menghasilkan senyum manis merah merona setelah menggigitnya. Merah merona, seperti warna lapis strawberry ini.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anatomi dan Morfologi Batang

 HUBUNGAN ANATOMI DAN MORFOLOGI BATANG TUMBUHAN DENGAN CARA HIDUP TUMBUHAN ABSTRAK oleh : Een Ayu Arfianti Artikel ini membahas tentang batang yang dilakukan pengamatan secara morfologi dan pengamatan anatomi batang tumbuhan menggunakan mikroskop dengan cara pengambilan preparat secara melintang pada batang bayam Amaranthus sp. dan batang pepaya Carica papaya. A.     Pendahuluan Batang ( Caulis ) merupakan bagian tubuh tumbuhan yang amat penting, dan mengingat tempat serta kedudukan batang bagi tubuh tumbuhan, batang dapat disamakan dengan sumbu tubuh tumbuhan-tumbuhan. Didalam batang terdapat berkas pengangkut xylem dan floem. Pada umumnya batang mempunyai sifat-sifat umumnya berbentuk panjang, bulat seperti silinder dan bentuk lain. Terdiri atas ruas-ruas yang masing-masing dibatasi oleh buku-buku yang meupakan tempat tumbuhnya daun. Batang mengalami percabangan. Pada umumnya fungsi batang yaitu mendukung bagian-bagian yang tumbuh pada batang sebagai tempat tumbuhnya

Slice of Stories.

Slice of Stories. Aku, Kamu dan Pertanyaanku Oleh : Een Ayu Arfianti Terikat masalalu memang bukan keinginanku. Seribu persen, sungguh bukan. Tapi, jika dalam sehari saja ada beberapa gambar semu tentangmu, apakah benar ini bukan keinginanku? Dulu, ya memang dulu. Tak ada habisnya membahas kata “dulu”, kamu tersenyum tanpa aku harus menatapmu terlebih dahulu. Aku tertunduk, malu. Coba sekarang, kembali aku terikat masa-masa itu. Kita berpapasan saja, ah. Sungguh, tak bisa disangka. Sedingin itukah sekarang dirimu? Ada beberapa pertanyaan yang terlampau banyak. Berpuluh-puluh pertanyaan. Tidak, bahkan lebih. Beratus-ratus, ya ratusan pertanyaan mengelilingi kepalaku. Tapi, cukup itu menghuni kepalaku tanpa bisa kuucapkan. Ada beberapa hal yang belum sempat terselesaikan. Belum, belum dari ratusan pertanyaanku dulu dan sekarang. Untuk yang terdahulu, biar aku yang tahu. Dengan harapanpun kamu tahu. Bagaimana pertanyanku sekarang?   Bagaimana hari-harimu sekarang? Aku h